Selama beberapa generasi secara turun temurun, penduduk Vietnam penghuni pulau Ly Son nekad melawan badai dan berbagai bahaya untuk membawa pulang ikan, namun kini mereka juga berhadapan dengan patroli-patroli yang dikerahkan pemerintah Beijing untuk memperkuat klaim teritorialnya.
Terpengaruh oleh rasa nasionalis, dan terpaksa melaut lebih jauh ke tengah untuk mendapatkan ikan, armada-armada nelayan Asia kini makin sering terjebak di garis depan eskalasi ketegangan teritorial di wilayah tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, China secara agresif mulai melakukan patroli di sekitar pulau sengketa Paracel Island dan Spratly Island di Laut China Selatan -- di Vietnam dikenal sebagai Laut Timur -- dengan menggunakan larangan penangkapan ikan dan boat-boat patroli untuk mencegah pukat-pukat trawl asing beroperasi di sana, ujar para pejabat dan nelayan Vietnam.
"Mereka memiliki senapan. Mereka berlatih senjata itu pada kami, memaksa kami ke depan boat, lantas mereka menaiki perahu kami dan menangkap kami," ungkap Tran Hien, yang ditahan pada Maret lalu bersama krunya yang beranggotakan 10 orang di dekat Paracel Island dan ditahan selama 49 hari.
"Putra pertama saya lahir ketika saya sedang mendekam di penjara China," ujar nakhoda boat berusia 33 tahun tadi. "Mereka merampas jaring saya, GPS saya dan kini saya terlilit banyak utang."
Ditahan China
Cerita Hien itu sama sekali tidak asing -- dia dan anak buahnya ditahan bersama kru boat Vietnam lainnya yang ditangkap pada hari sama. Kedua nakhoda dipukuli dan makanan untuk 21 pelaut tersebut sama sekali tidak pernah memadai, ungkapnya.
Pemerintah Hanoi mengataklan ratusan kru boat nelayan telah ditangkap dekat Paracel dan Spratly oleh otoritas China dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan area-area pesisir pantai sudah tak berikan akibat praktik overfishing, makin banyak nelayan dari Ly Son -- 30 kilometer timur daratan Vietnam -- mengandalkan perjalanan ke kepulauan sengketa tersebut untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan yang lumayan.
Hanoi mengklaim kedaulatan utuh atas jajaran pulau itu, yang dikenal masyarakat sebagai Truong Sa dan Hoang Sa. Kedua pulau itu terletak ratusan kilometer dari pantai Vietnam dan China.
Dan Hanoi menggunakan nelayan, setidaknya secara tidak langsung, untuk menyatakan klaim kedaulatan -- menolak setiap upaya China untuk membatasi pukat-pukat trawlnya, seperti larangan menangkap ikan tahunan yang dilakukan Beijing.
"Pemerintah kami mendorong kami untuk menangkap ikan di Paracel dan Spratly karena di sana terdapat banyak ikan dan perairan itu sudah jadi lokasi kami mencari ikan selama bertahun-tahun," ujar Le Khuan, 52, kepada AFP di rumahnya yang kecil di pulau Ly Son.
Beijing telah menduduki Paracel, yang dalam bahasa Mandarin dikenal sebagai Xisha, sejak terjadi perang singkat melawan Vietnam Selatan pada 1974, dan juga mengklaim Spratly -- sama seperti klaim keseluruhan atau sebagian oleh Taiwan, Malaysia, Pilipina dan Brunei.
Beijing mengklaimnya sebagai wilayah historisnyaa atas seluruh Laut China Selatan, yang diyakini memiliki cadangan minyak dan gas sangat besar serta rumah lokasi penangkapan ikan penting.
Eskalasi Di laut
Dengan makin banyaknya boat patroli China dan nelayan dari semua kewarganegaraan di perairan itu dan tingginya ketegangan diplomatik gara-gara kedua pulau sengketa, para pengamat memperingatkan suatu eskalasi bisa saja terjadi.
"Ada risiko nyata... dari reaksi berlebihan oleh pihak mananpun -- sebuah boat nelayan ditembaki oleh kapal patroli," ungkap Sam Bateman, pakar kemanan maritim di Nanyang Technological University Singapura.
Hanoi dan Beijing sama-sama "bersikap makin nasionalistis dalam respon terhadap klaim-klaim kedaulatan mereka," imbuh pakar tadi.
Sentimen patriotis yang kian besar juga bisa mempersulit semua pihak untuk mengalah, dengan semua pemerintah bersikap siap untuk saling melakukan tindakan balasan.
Para nelayan Pilipina juga mengeluhkan intimidasi dari personil China bersenjata senapan dekat Scarborough Shoal, sekira 230 km dari pantai Pilipina.
Saling klaim pecah jadi pertikaian diplomatik besar pada April lalu ketika Manila menuduh nelayan China mengambil berbagai species terancam bahaya seperti remis besar dan karang dari area itu. Upaya Pilipina untuk menangkap nelayan itu digagalkan ketika dua kapal intai China tiba di lokasi tersebut.
Dan pada bulan lalu, penjaga pantai Korea Selatan menahan 23 nelayan China di Laut Kuning setelah terjadi bentrokan sengit yang menyebabkan seorang anggota kru China tewas. Komunitas nelayan kecil di Pulau Ly Son terkejut mendapati dirinya ada di pusat pertikaian internasional hanya karena penangkapan ikan padahal mereka dari generasi ke generasi telah mencari ikan di sana, ungkap seorang pejabat pemerintah.
Perjalanan menangkap ikan ke lokasi tadi jelas menghadapi berbagai risiko terutama ancaman ditangkap aparat China. Namun warga komunitas tadi diingatkan agar sekuat tenaga menghindari konflik. Namun jika tidak diperoleh solusi, konfrontasi lebih lanjut tampaknya tidak terhindarkan karena para nelayan Ly Son mengatakan mereka akan tetap nekad mencari makan dengan menangkap ikan di perairan sengketa tersebut. [Fransisca Agustin / Jakarta] Sumber: BBC
PESAN DARI ADMIN
Mari kita dukung kiriman artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan ke dalam halaman facebook, twitter & googleplus Anda, serta pastikan Anda juga bisa mengirim artikel berita kegiatan / kejadian tentang Tionghoa di kota tempat tinggal Anda atau artikel bermanfaat lainnya ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id