Hal itu dikatakan Mantan Duta Besar RI untuk China, Mayjen (Purn) Sudrajat dalam acara bincang-bincang sebuah radio swasta di Jakarta, Sabtu, dengan tema 'Imlek dan Peran Tionghoa Kini', SAbtu (21/1)
"Perubahan kebijakan China tahun 70an adalah kuncinya. Dahulu satu miliar rakyat China dinilai sebagai beban negara, namun di era Deng Xiao Ping rakyat yang satu miliar itu tidak menjadi beban namun produser," katanya.
Ia menilai Den Xiao Ping sebagai suatu sosok di balik perubahan pesat China. Selain itu, menurut Sudrajat, China memiliki faktor kepemimpinan kolektif yang kuat. Ia menilai apa yang disebut oleh negara Barat sebagai rezim otoritarian bukanlah suatu otoritarian individu namun kelompok.
"Ada sekitar 70 juta anggota Partai Komunis China yang akan memikirkan China mau dibawa kemana," katanya.
Berdasarkan pengamatannya, sedikit demi sedikit rakyat China mulai nyaman dengan Partai Komunis karena perjuangan partai itu yang semula untuk kaum petani berubah menjadi untuk rakyat.
Sudrajat berharap Indonesia dapat belajar dari China demi kesejahteraan rakyat. "Tidak usah kita menjadi mono partai, tapi kurangilah kegaduhan-kegaduhan politik sehingga kita bisa maju," katanya.
Ia menggaris bawahi, kebutuhan seorang pemimpin nasional yang berkualitas untuk membawa Indonesia menuju kejayaan.
Terkait hubungan Indonesia-China, Sudrajat menilai pascaperang dingin maka hubungan kedua negara berkembang pesat. Apalagi dengan penandatanganan kemitraan strategis pada 2005.
"Dahulu hubungan Indonesia-China dipengaruhi kondisi perang dingin, sekarang dengan tidak adanya perang dingin semua berubah," ujarnya.
Ia menyebut pemberontakan komunis di Indonesia di tahun 60an sebagai salah satu hal yang mempengaruhi hubungan diplomatik kedua negara. [Winda Ong / Bengkulu]