Tak kurang dari 10 ribu pengungsi melarikan diri ke daerah di barat daya Provinsi Yunan. Dalam delapan bulan terakhir, populasi pengungsi di China telah tumbuh secara dramatis. Mereka terpaksa lari karena pecahnya pertempuran antara militer Myanmar dan salah satu kelompok pemberontak paling kuat Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA). Sebagian besar pengungsi adalah perempuan, anak-anak dan orang tua.
Bentrokan terjadi setelah gencatan senjata selama 17 tahun pecah Juni lalu.
Konflik itu bisa membahayakan upaya Myanmar untuk meyakinkan Uni Eropa dan AS untuk mencabut sanksinya. Myanmar mulai membuka diri untuk demokrasi setelah puluhan tahun berada dalam masa pemerintahan militer.
Uni Eropa dan AS telah membuat kesepakatan damai dengan milisi etnis sebagai bagian dari upaya mencabut sanksinya. Beberapa kelompok telah melawan pemerintah sejak kemerdekaan Myanmar dari Inggris pada 1947. Meskipun intensitas pertempuran telah mereda, kelompok bantuan khawatir bahwa lebih banyak orang akan lari dan memperburuk kondisi.
"Mereka kesulitan air bersih," kata koordinator kelompok lokal Bantuan Jaringan Aksi untuk IDP (Internally Displaced Persons) dan Pengungsi (RANIR), melalui telepon dari Myanmar.
Di beberapa kamp, mereka terserang wabah disentri. Persediaan makanan sangat terbatas. Para pengungsi juga tidak memiliki pendapatan tetap.
Jumlah pengungsi yang begitu banyak dikhawatirkan dapat mengganggu stabiltas China. Pihak berwenang Provinsi Yunan telah meminta agar para pengungsi pergi. Sejauh ini, menurut kelompok bantuan, China tidak menggunakan kekerasan kepada pengungsi.
Aktivis lokal Maersili mengatakan para pengungsi terpaksa tidur berdesak-desakan. Empat hingga lima keluarga harus tidur berhimpitan dalam satu tenda. Organisasi bantuan internasional seperti PBB belum mampu memberikan bantuan. Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) hanya dapat memberikan bantuan jika diminta oleh pemerintah untuk melakukannya. [Louis Koo / Beijing]