Sejak lebih dari dua dekade terakhir ini, pria tersebut, Ya Weilin (73), berjuang keras untuk mencari kejelasan soal kematian putranya, bersama dengan orangtua dan keluarga korban lain dalam peristiwa kerusuhan di Lapangan Tiananmen.
Mereka bergabung dalam kelompok keluarga korban, Para Ibu Tiananmen (Tiananmen Mothers), yang berjuang bersama mendesak pertanggungjawaban Pemerintah China. Dalam kekacauan yang terjadi 3-4 Juni 1989 itu diyakini ribuan aktivis pelajar dan mahasiswa serta masyarakat sipil tewas dilibas militer China, menyusul aksi unjuk rasa yang digelar sepekan sebelumnya.
Kelompok Para Ibu Tiananmen dalam pernyataan tertulisnya memaparkan, jasad Weilin tergantung di lokasi parkir bawah tanah yang tak terpakai di apartemen tempatnya tinggal di Beijing.
Weilin diperkirakan membunuh dirinya sendiri, Jumat lalu. Dari penjelasan pihak keluarga, seperti diunggah kelompok Para Ibu Tiananmen di situs resmi mereka, di dekat jenazahnya terdapat sejumlah berkas kematian anaknya dan juga pesan bunuh diri Weilin.
Dalam pesan terakhirnya Weilin menulis kalau bunuh diri itu sengaja dilakukan sebagai protes karena hingga kini dirinya kecewa tak menemui kejelasan yang dia inginkan.
Setelah insiden berdarah di Lapangan Tiananmen itu, Pemerintah China sengaja menutup rapat-rapat informasi tentang kejadian tersebut. Tak satu pun penjelasan tertulis dibuat dan insiden itu juga tak disinggung sama sekali dalam buku-buku sejarah resmi negeri "Tirai Bambu" itu.
Upaya publik mendiskusikan kejadian tersebut juga ditabukan. Namun, kelompok Para Ibu Tiananmen terus mengupayakan agar catatan sejarah kelam China itu tidak terhapus begitu saja.
Untuk memperingati kejadian itu, setiap tahun kelompok tersebut mengirim surat terbuka kepada Pemerintah Beijing. Mereka menuntut investigasi dibuka dan pemerintah mengumumkan jumlah korban tewas secara resmi. Selain itu, pemerintah didesak memberi kompensasi kepada keluarga korban dan menghukum pihak militer yang bertanggung jawab atas kejadian berdarah tersebut.
Akan tetapi, lebih dari dua dekade berlalu, Pemerintah China tetap bergeming dan terus melanjutkan sikap diam mereka. Dalam catatan Para Ibu Tiananmen, mendiang putra Weilin, Ya Aiguo (22), tewas ditembak militer China di bagian kepala. Saat itu Aiguo sedang menunggu panggilan kerja dan tengah berjalan-jalan dengan pacarnya.
"Pemerintah China yang berdarah dingin telah menyebabkan penyelesaian yang tragis seperti ini," ujar Zhang Xianling, teman dekat Weilin dan istrinya. Xianling juga kehilangan putranya yang saat itu berusia 19 tahun. [Miao Miao / Beijing]