Wartawan media melaporkan, kota dengan penduduk 20 juta jiwa ini bukan tanpa dilengkapi infrastruktur yang baik, tetapi karena jumlah mobil yang sudah mencapai 3,2 juta unit, lalu lintas tetap saja macet. Lebar jalan di Beijing umumnya mencapai 40 meter, sebutlah misalnya Chang An Da Jie di depan Forbidden City dan Tienanmen, namun tetap saja jalan terasa sangat sesak.
Padahal dengan lebar 40 meter itu, seseorang yang ingin menyeberangi jalan, mesti tancap gas untuk mencapai seberang jalan. Sampai di seberang jalan, dan dalam keadaan masih terengah-engah, masih harus menyeberang jalan di jalur sebelahnya. Wah, Media mencoba mengarungi lautan macet itu dari barat kota ke arah timur kota, lebih kurang 38 km, membutuhkan waktu tempuh empat jam dua puluh menit.
Gao Xiang, seorang tokoh partai di China menuturkan jarak dari rumahnya ke kantornya, lebih kurang tujuh kilometer, ia tempuh selama satu setengah jam, padahal ia sudah mengambil beberapa jalan alkternatif. . Pemerintah China bukan tidak berusaha mengatasi kemacetan ini. Beberapa langkah strategis sudah dilakukan, untuk mengurangi kemacetan di kota dengan luas 16.801,25 km persegi ini (18 kali luas negara Singapura).
Pertama, pembeli mobil harus antre. Dari 100.000 pengantre setiap bulan, hanya 20.000 yang dikabulkan, begitu seterusnya. Sistem ini membuat antrean pembeli mobil makin panjang. Maklum ekonomi China makin subur, dan kini bahkan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia, menyisihkan Jepang dan Jerman.
Kedua, sepeda motor dilarang masuk pusat kota. Ketiga jalan bebas hambatan, kereta massal, jalan lingkar, dan jalan layang dibangun dengan gegap gempita, tetapi juga tidak menolong. Kini beredar isu bahwa pembeli mobil akan dibatasi menjadi 10.000 unit per bulan, bukan 20.000 unit seperti sekarang.
Dampak lain dari kemacetan parah itu adalah polusi. Kota penuh warisan sejarah ini selalu tampak berkabut, akibat tingginya polusi. Warga yang menjadi "sales" ikut sengsara. Kalau belasan tahun silam mereka bisa merengkuh lima sampai delapan lokasi per hari, kini hanya satu dua lokasi.
Kemacetan itu juga membuat sebagian warga malas bepergian, turis asing terusik dan arus pengantaran barang terhambat. "Saya kalau tidak amat perlu, enggan keluar kantor hanya untuk makan atau bercengkerama dengan teman. Lebih baik bawa bekal dan makan bekal itu di kantor," ujar Wu Lihung, seorang kepala sekolah SMA di Beijing.
Sebagian warga yang mengendarai mobil terpaksa bawa botol air minum agar dapat (maaf) pipis di botol itu. Ini persoalan Beijing yang suka tidak suka mengganggu kenyamanan warga dan para wisatawan asing maupun domestik. [Wang Lie Fei / Beijing]