Jumlah orang yang berbicara bahasa secepat api --sebutan indentitas penduduk ibu kota komersial China yang berpenduduk lebih dari 20 juta-- kini menyusut. Kaum muda kini tidak bisa lagi lancar berbicara bahasa asli Shanghai yang sesungguhnya adalah bahasa ibu mereka.
Memudarnya dialek Shanghai memang tidak lepas dari pengaruh kebijakan dan upaya pemerintah mempertahankan dan mempromosikan bahasa Mandarin sebagai bahasa resmi, dan melarang bahasa dialek daerah untuk digunakan di sekolah-sekolah dan media elektronik. Tidak lama setelah Partai Komunis berkuasa tahun 1949, mereka menetapkan China Mandarin sebagai bahasa resmi untuk menjalin persatuan.
Kondisi di Shanghai semakin runyam dengan makin banyaknya imigran dan kawasan bisnis. Ini menyebabkan Kota Shanghai menjadi berbau Internasional walau sedikit berbaur dengan logat atau dialek daerah setempat.
"Bahasa bagai mahluk hidup, setelah menjadi tua, lalu harus mati," tegas Qian, pensiunan guru besar bidang studi-studi bahasa pada Universitas Shanghai. "Orang lahir di tahun 1990-an sama sekali tidak bisa berbicara dalam dialek Shanghai," kata dia.
Rupanya Shanghai tidak sendiri. Provinsi Guangdong di China selatan juga mengumumkan rencana mensyaratkan pada broadcaster untuk terlebih dulu mendapat izin dalam menggunakan atau berbicara dalam dialek Kanton pada program kegiatan mereka. Persyaratan ini mulai berlaku pada 1 Maret, namun muncul berbagai reaksi kontroversial di masyarakat.
Masyarakat tidak menyerah begitu saja. Khusus di masyarakat Shanghai sudah timbul kesadaran mempertahankan dialek mereka. Pelawak asal Shanghai, Zhou Libo, membantu memperkuat kepentingan itu, dalam setiap lawakannya pada setiap penampilannya.
"Lemahnya bahasa daerah itu berarti melemahnya kebudayaan lokal. Mengapa anak-anak kita berbicara bahasa China (Mandarin)? Mereka orang-orang Shanghai yang tidak bisa bebicara dialek Shanghai. Bodoh sekali!" Tegas Zhou Libo.
Upaya melestarikan dialek asli Shanghai terus dilakukan. Salah satu buktinya adalah beberapa bus kota itu, mengeluarkan beberapa pengumuman yang menggunakan bahasa Shanghai. Bahkan angkutan kereta bawah tanah mengikutinya melalui pemberitahuan-pemberitahuan untuk para orang tua, khususnya mereka yang tidak berpendidikan formal dan tidak mengerti bahasa mandarin.
Begitu juga maskapai penerbangan Shanghai Airlines menambahkan dalam setiap informasi yang dipublikasikannya dengan mencantumkan sejumlah tempat menarik di kota itu, sebagai langkah memasarkan tempat-tempat unik di Shanghai.
Tetapi tampaknya maskapai itu harus melatih para pramugari dan pramugara muda untuk belajar mengucapkan dialek Shanghai.
Bahkan untuk mengetahui ketrampilan berdialek Shanghai bagi warga kota itu, beberapa waktu lalu Universitas Tongji, yang begitu prestisius, mengorganisasi secara sukarela membuka kelas dialek Shanghai.
Hasilnya adalah mahasiswa yang juga secara sukarela mengikuti kelas itu ternyata tidak mampu berkomunikasi dengan orang-orang Shanghai yang lanjut usia. Para lanjut usia ini harus mengajar frasa dasar seperti nong hao (halo). [Li Xing Yi / Shanghai]