Sektor garmen termasuk dalam kategori padat karya (labor-intensive industry), dan upah bagi pekerja mencapai 35 persen dari seluruh biaya operasional. Menurut Sung, kenaikan sebesar 44 persen tidak akan bisa ditanggung oleh pengusaha mana pun di sektor ini.
Agar bisa tetap beroperasi, satu-satunya cara adalah dengan memberhentikan pegawai. Pemutusan hubungan kerja karyawan juga menjadi dilema tersendiri. Pasalnya, hal ini hanya akan menambah gejolak sosial serta meningkatkan eskalasi protes para buruh.
Kondisi semakin buruk karena beberapa konsumen pebisnis Taiwan ini telah mengancam untuk beralih ke pemasok di negara lain disebabkan adanya kenaikan harga yang terjadi karena naiknya biaya operasional.
Asisten manajer perusahaan pembuat sepatu berbasis Taiwan, Ching Luh Group, Liu Ming-chen, mengatakan, kenaikan biaya operasional sungguh signifikan sehingga pemutusan hubungan kerja menjadi suatu hal yang tak terhindarkan. Liu mendesak pemerintah pusat dan daerah mengadakan pembicaraan dengan organisasi buruh yang menuntut kenaikan upah.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, besaran upah minimum provinsi yang baru seharusnya tidak diberlakukan bagi sektor industri padat karya. Pasalnya, jika jenis industri ini mengikuti UMP yang berlaku, biaya produksi mereka bisa langsung naik 30 persen, dan ini akan sangat membebani mereka. Sektor labor intensive industry yang akan terkena dampak paling sulit adalah tekstil, sepatu, serta mainan anak-anak.
Menurut Sofjan, untuk sektor industri padat karya, kisaran kenaikan upah yang sesuai adalah 10-15 persen. "Kalau mereka dipaksa ikut ketentuan upah minimum yang berlaku, mereka lama-lama akan tutup dan menjadi importir," katanya pada Tempo.
Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta telah naik dari Rp.1,53 juta menjadi Rp.2,2 juta. Kenaikan ini mulai berlaku tahun depan. [Christine Wu / Jakarta] Sumber: Tempo