Huang Yuanyuan, kerja hingga larut malam di sebuah stasiun radio di Beijing. Besok, ia akan merayakan ulah tahun ke-29. "Menakutkan, aku setahun lebih tua," kata dia seperti dimuat BBC, Kamis (21/2/2013). "Aku deg-degan."
Ada alasan bagi Huang untuk gelisah. "Aku masih lajang, tak punya pacar. Aku dalam tekanan untuk segera menikah."
Huang sejatinya adalah perempuan yang punya percaya diri, punya gaji bagus, punya apartemen sendiri, bergelar MA dari sebuah universitas terkemuka di China. Punya banyak teman.
Namun, ia tak mampu menepis kenyataan bahwa perempuan lajang di perkotaan, yang berpendidikan seperti dirinya disebut "sheng nu" alias "perempuan sisa". Sebutan yang menohok lagi menyebalkan.
Bahkan, situs pemerintah yang harusnya feminis, All-China Women's Federation menampilkan artikel soal "perempuan sisa" itu -- baru berhenti setelah protes bertubi-tubi datang.
* Mulai Tahun 2007
Media pemerintah China mulai menggunakan terminologi "sheng nu" pada 2007. Di tahun yang sama, pemerintah memperingatkan rakyatnya soal ketidakseimbangan gender, yang dianggap persoalan yang serius. Ini adalah dampak kebijakan satu keluarga satu anak yang membuat jumlah pria jauh lebih banyak.
Biro Nasional Statistik menyebut, jumlah pria yang berusia di bawah 30 tahun, 20 juta lebih banyak dari perempuan di bawah usia 30 tahun.
"Sejak 2007, media pemerintah China secara agresif menyebarluaskan istilah ini dalam survei, berita, kolom, kartun, dan gambar. Yang pada dasarnya memberi stigma pada perempuan berpendidikan berusia di atas 27 atau 30 tahun yang masing lajang," kata Leta Hong-Fincher, ilmuwan AS yang menempuh pendidikan doktoral di Tsinghua University, Beijing.
Sensus di China menunjukkan, satu dari lima perempuan berusia 25-29 tahun belum menikah. Proporsi pria yang belum menikah, dalam rentang usia sama, bahkan lebih tinggi -- lebih dari 1:3. Namun, itu bukan berarti perempuan di China gampang mendapat jodoh. Faktor usia dan tingkat pendidikan juga jadi kriteria mereka memilih pasangan.
Padahal bagi pemerintah, perempuan berpendidikan amat diharapkan untuk menurunkan generasi berkualitas.
Pemerintah pun kerap mengadakan acara perjodohan, agar perempuan berpendidikan bisa mendapatkan bujangan yang berkualitas. Menurut Fincher, tujuannya tak hanya menciptakan keturunan yang berkualitas. Dengan mengikat para pria lajang dalam pernikahan akan mengurangi kegelisahan para lelaki lajang -- yang bisa memicu malapetaka sosial.
* Tak Hanya Pemerintah
Namun kecenderungan untuk memandang rendah wanita usia tertentu yang belum menikah, tak hanya dilakukan pemerintah.
Seperti yang terjadi pada Chen -- bukan nama sebenarnya -- yang bekerja di sebuah perusahaan konsultasi investasi.
Ia lajang, menikmati hidup dengan gaji besar, jauh dari orang tuanya yang konservatif, yang merasa malu karena putri mereka yang berusia 38 tahun belum berumah tangga. "Mereka tak bakal membawaku ke acara pertemuan, karena tak mau orang tahu, anak gadis mereka dengan usia setua ini belum menikah," kata dia. Takut dianggap tak normal.
Ayahnya bakal mengancam akan "membuangnya" jika ia tak menikah sebelum akhir tahun. Kalau sampai itu terjadi, Chen dipaksa tinggal dengan orangtuanya.
Padahal, sebagai perempuan, Chen tahu benar pria seperti apa yang ingin ia jadikan pasangan, untuk seumur hidupnya: jujur, bertanggung jawab, dan lelaki yang bisa menjadi pasangan yang baik. Ia belum menemukannya hingga kini.
Sementara, media pemerintah kerap menyampaikan pesan yang menyerang perempuan berpendidikan, yang dianggap terlalu "pilih-pilih".
"Perempuan cantik tak butuh sekolah tinggi-tinggi untuk menikahi pria dari keluarga kaya dan berkuasa. Namun perempuan jelek mungkin menemui kesulitan," demikian kutipan dari artikel berjudul "Perempuan Sisa Tak Berhak Dapat Simpati" yang dipublikasikan situs All-China Federation of Women, Maret 2011.
"Gadis-gadis ini (tak cantik) berharap melanjutkan pendidikan mereka dalam rangka meningkatkan posisi tawar. Mereka tidak sadar pada saat mereka mendapatkan gelar MA atau PhD, mereka sudah tua - seperti mutiara menguning."
Tak ayal artikel itu memicu protes. "Media harus berhenti menggunakan istilah itu, dan harus menghormati hak-hak asasi perempuan," kata Fan Aiguo, Sekjen China Association of Marriage and Family Studies.
Bagi Ellisa, eksekutif muda berusia 29 tahun, menikah atau tidak menikah adalah pilihan. "Hidup sendiri berarti saya bisa melakukan apapun yang saya suka. Aku bisa bergaul dengan teman-teman setiap kali saya mau," kata dia.
"Saya mencintai pekerjaan saya, dan bisa melakukan banyak hal sendiri - seperti membaca, ke bioskop, apapun," kata dia. Bagi Ellisa, kebahagiaan tidak bergantung pada pasangan. [Lu Xiao Fen / Beijing]
* DA JIA PENG YOU - XIN NIEN KUAI LE - GONG XI FA CHAI *